Entri Populer

Selasa, 19 April 2011

Sumbangsih pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional


Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Sumbangsih Sistem Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional”
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas mandiri dan persyaratan untuk menyelesaikan Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam I di Institut PTIQ Jakarta.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada :
  1. Bapak Nur kholis Madjid, M.Ag Selaku Dosen Penguji, yang telah memberikan kemudahan-kemudahan baik berupa moril maupun materiil.
  2. Rekan – rekan mahasiswa Institut PTIQ Jakarta Fakultas Tarbiyah (Program GPAI) tahun 2010 – 2011.
  3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Jakarta,   Maret 2011

                                                                                    Penulis


Daftar Isi

Kata Pengantar  ………………………………………………………..      1
Daftar Isi ……………………………………………………………….      2
BAB I  PENDAHULUAN  ……………………………………………       3
A.     Latar Belakang  ………………………………………………..         3
B.Rumusan Masalah  …………………………………………… 5
C.     Tujuan Penyusunan Makalah  …………………………………           5
BAB II PEMBAHASAN  …………………………………………….        5
A.     Pendidikan Islam  …………………….…………………………       6
B.Sejarah UU Sisdiknas dan Pendidikan agama  …………………            7
C.     Jejak Religiusitas sisdiknas 2003  ……………………………..           10
D.     Kedudukan Pendidikan Islam dalam sistem Pendidikan Nasional ..        11
E.       Fakta Pendidikan di Indonesia  ………………………………….       15
BAB III PENUTUP  ……………………………………………………     26
A.     KESIMPULAN  ………………………………………………         26
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………..          27



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang hayat, yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan dalam proses mencapai tujuannya perlu dikelola dalam suatu sistem terpadu dan serasi, baik antar sektor pendidikan dan sektor pembangunan lainnya; antar daerah dan antar berbagai jenjang dan jenisnya.
Pendidikan yang dilaksanakan baik di sekolah maupun di luar sekolah perlu disesuaikan dengan perkembangan tuntutan pembangunan yang memerlukan berbagai jenis keterampilan dan keahlian disegala bidang serta ditingkatkan mutunya sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi, seperti di sekolah-sekolah kejuruan dan politeknik. Kerjasama antara dunia pendidikan dengan dunia usaha perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga produk dunia pendidikan siap pakai oleh dunia usaha karena memenuhi persyaratan keterampilan dan kecakapan yang sejalan dengan tuntutan pembangunan di berbagai bidang.
Dalam upaya merekonstruksi kebangkitan suatu masyarakat, negara, bahkan peradaban umat manusia, keberadaan mabda (ideologi) merupakan salah satu aspek penting yang menentukan kebangkitan dan pembentukan peradaban tersebut. Mabda merupakan aqidah aqliyah (difahami melalui proses berfikir) yang melahirkan segenap peraturan untuk memecahkan berbagai problematika kehidupan manusia . Dengan memahami bahwa masyarakat adalah sekumpulan individu yang memiliki pemikiran dan perasaan yang sama serta diikat oleh peraturan kehidupan yang sama maka rekonstruksi suatu masyarakat dapat dilakukan dengan perubahan terhadap unsur 2MQ yaitu mengubah Mafahim (pemahaman, cara berfikir), Maqayis (perasaan-perasaan) serta Qanaat (ketaatan, keterikatan terhadap nilai-nilai). Masyarakat yang memiliki maqayis, mafahim, dan qanaat yang bersumber dari mabda kapitalisme maka kehidupannya senantiasa berjalan di atas rel ‘Sekulerisme’ begitu pula dengan peradaban yang terbentuknya. Demikian halnya dengan mabda sosialisme-komunisme yang mengarahkan unsur 2MQ dalam masyarakat berjalan di atas rel ‘Dialektika Materialisme dan Atheisme’. Adapun dengan mabda islam, masyarakat hendak diarahkan agar memiliki landasan (qaidah) dan arahan/kepemimpinan (qiyadah) dalam berfikir, berperasaan serta mengikatkan diri pada peraturan yang bersumber dari aqidah dan syariah islam dalam menjalani kehidupannya. Bahkan dengan mabda islam tersebut umat manusia diarahkan untuk membangun sebuah peradaban yang mulia melalui tegaknya institusi negara yang menjamin terpeliharanya aqidah dan syariah tersebut dalam kehidupan.
Saat ini kehidupan kaum muslimin di berbagai negeri tengah didera oleh ideologi kapitalisme maupun sosialisme-komunisme. Tidak terkecuali dengan Indonesia yang merupakan salah satu negeri muslim terbesar di dunia kini tengah mengalami berbagai macam keterpurukan akibat mengemban ideologi tersebut. Secara praktis, mafahim, maqayis, dan qanaah yang dimiliki oleh masyarakatpun tidak sepenuhnya diberikan kepada Islam, melainkan kepada kapitalisme maupun sosialisme-komunisme. Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban pula bagi kaum muslimin untuk mengembalikan unsur 2MQ tersebut kepada mabda Islam melalui aktifitas dakwah yang dilakukan secara berjamaah dalam berinteraksi dengan masyarakat hingga dapat menanamkan nilai-nilai baru ditengah-tengah masyarakat secara berkesinambungan.
Dalam pendekatan sistemik, diantara ushlub (strategi) dakwah yang dapat dilakukan adalah melalui perubahan sistem pendidikan nasional yang saat ini berkarakteristik sekuler agar menjadi sistem pendidikan yang berbasiskan syari’ah islam.
Sebagai bangsa Indonesia, kita harus mengartikan pendidikan sebaga perjuangan bangsa, yaitu pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dalam operasionalisasinya, pendidikan nasional dengan sifat dan kekhususan tujuannya, yang dikelola dalam perjenjangan sesuai dengan tahapan atau tingkat perkembangan peserta didik, keluasan dan kedalaman bahan pengajaran. Oleh karena itu pendidikan berlangsung harus sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam pasal 4 UUSPN adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

B.     Rumusan Masalah.
1.      Bagaimanakah Sistem Pendidikan Islam?
2.      Bagaimana Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003?
3.      Bagaimana Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional?

C.     Tujuan Penyusunan Makalah
Makalah ini secara khusus akan menganalisa posisi pendidikan Islam baik secara kelembagaan maupun secara normatif menyangkut nilai-nilai dan prinsip-prinsip pendidikan Islam melalui analisa terhadap pendidikan keagamaan dan pendidikan agama dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003. Analisa terhadapnya akan dilakukan dengan pendekatan content analysis. Yang dengan cara membaca secara seksama naskah Undang-Undang tersebut plus Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 sebagai pedoman pelaksanaan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, untuk melacak pernyataan-pernyataan yang menyiratkan atau menegaskan concern Undang-Undang ini terhadap pendidikan agama maupun pendidikan keagamaan. Hasil pelacakan tersebut kemudian dikritisi dengan teori dan pandangan para pakar tentang pendidikan Islam, dan dikonfirmasikan dengan fakta pelaksanaan pendidikan Islam dalam tataran empirik. 
BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pendidikan Islam.

Bila kita akan melihat pengertian pendidikan dari segi bahasa, maka kita harus melihat kepada kata Arab karena ajaran Islam itu diturunkan dalam bahasa tersebut. Kata pendidikan yang umumnya kita gunakan sekarang, dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata pengajaran dalam bahasa Arabnya adalah “ta’lim” dengan kata kerjanya “allama”. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arabnya “Tarbiyah wa Ta’lim”, sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah Islamiyah”. (Zakiah Daradjat, 2004: 25)[1]
Kata kerja rabba (mendidik) sudah digunakan pada zaman Nabi Muhammad Saw seperti terlihat dalam ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam ayat Al-Qur’an kata ini digunakan dalam susunan sebagai berikut:


“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil”.
Sedangkan menurut istilah Pendidikan Islam adalah sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah  di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-Qur’an dan sunnah, maka tujuan dalam konteks ini berarti terciptanya insan-insan kamil setelah proses pendidikan berakhir.(Armai Arief, 2002: 16)


  1. Sejarah  UU Sisdiknas Dan Pendidikan Agama 

Berdasarkan pada Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan  Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.(Penerbit Asa Mandiri, 2007: 50)[2]
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 lahir melalui perdebatan sengit. Bahkan unjuk rasa sampai ancaman disintegrasi ikut mewarnai proses lahirnya Undang-Undang ini. Singkat kata, Undang-Undang ini menjelang kelahirannya ada dalam situasi yang dilematis. Kritik tajam terhadap Undang-Undang ini (saat itu masih RUU) dapat dicatat antara lain berkaitan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan terlalu ditekankan pada kesalehan beragama dan mengabaikan tujuan pendidikan nasional yang universal dan komprehensif; bersifat diskriminatif dan mengabaikan keberadaan serta kepentingan agama/kepercayaan lain di luar lima agama yang selama ini diakui resmi oleh negara; visi pendidikan agama yang ditawarkan tidak mendorong semangat pluralisme, serta memberi peluang intervensi berlebihan negara pada pelaksanaan pendidikan dan menghalangi partisipasi serta otonomi masyarakat, khususnya lembaga-lembaga pendidikan; campur-tangan pemerintah terlalu besar pada masalah agama; dan kentalnya nuansa politik yang mebidani lahirnya Undang-Undang tersebut. Demikianlah kritik yang mengemuka dari kelompok yang menolak Undang-Undang tersebut.
Adapun rumusan pengertian tentang Pendidikan Nasional dapat penulis kemukakan pendapat Ki. Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan Nasional di Indonesia serta yang diangkat oleh Pemerintah sebagai Bapak Pendidikan, menyatakan sebagai berikut:
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri-kehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemulian segenap manusia di seluruh dunia”. (Ahmadi & Uhbiyati, 2001: 190)[3]
Dengan demikian nampak erat sekali hubungan antara seorang nasionalisme dengan keyakinan hidup kebangsaan. Hal ini akan dihayati bagi orang yang menyatakan diri dengan hidup bangsanya dan merasa terikat dengan benang sutera kecintaan yang halus dan suci dengan bangsanya.
S. Mangunsarkoro menyatakan: “Baru jika si pendidik itu sendiri seorang nasionalis, barulah ia bisa menyiarkan keyakinan kebangsaan itu pada tiap-tiap hal yang diajarkannya kepada murid. Dan karena si pendidik itu seorang nasionalis, maka dengan sendirinya ia dapat melihat pekerjaannya sebagai guru itu dalam lingkungan dan susunan pekerjaan kebangsaan yang luas”. (Ahmadi & Uhbiyati, 2001: 191)
Sementara pada sisi lain, Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai jawaban legal formal terhadap krisis pendidikan yang telah menggurita dalam tubuh bangsa Indonesia. Dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2003, Megawati Sukarno Putri, Presien RI saat itu misalnya menegaskan, kegagalan dan kekurangberhasilan yang terjadi selama ini merupakan cerminan dari kegagalan dalam membentuk mental dan karakter sebagai bangsa yang sedang membangun. Semua itu bagaikan bermuara pada kesimpulan tentang tipisnya etika kita dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau disimak ujung dari semua itu seakan-akan berhenti pada ungkapan tentang gagalnya sistem pendidikan nasional kita. Kesadaran akan adanya kegagalan dalam dunia pendidikan ini ditandai dengan tuntutan reformasi yang beriringan dengan tuntutan reformasi pada bidang kehidupan lainnya. Bahkan di kawasan Asia, Indonesia di nilai sebagai negara yang paling ketinggalan (least well-educated country) dalam pendidikan baik dari budgeting, out put, maupun manjerial. Dalam konteks reformasi pendidikan inilah sesungguhnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 ini lahir. 
Terdapat banyak isu reformasi pendidikan yang diusung saat itu. Sedikitnya isu-isu sentral reformasi pendidikan ini bermuara pada empat hal, yaitu
1)      pendidikan agama sebagai basis pendidikan nasional
2)      pemerataan kesempatan pendidikan.
3)      peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, dan
4)      efisiensi menajemen pendidikan.
Keempat hal pokok ini tidak lagi bisa dijawab oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun menjelang disahkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 sebagai pengganti UU Sisdiknas sebelumnya –seperti ramai diberitakan oleh media massa - seluruh persoalan pendidikan yang rumit didiskusikan oleh para pakar pendidikan selama kurang lebih dua tahun itu, semuanya tenggelam ditelan polemik pasal-pasal “yang berpihak“ terhadap pendidikan agama. Bahkan polemik ini sudah jauh melampaui diskusi-diskusi kependidikan, tetapi merambah masuk ke dalam ranah politik dan sentimen agama. Dapat dikatakan, bahwa pasal-pasal yang beraroma agama dan bersentuhan dengan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan menjadi pusaran konflik yang mengundang debat sengit, unjuk rasa, sampai pada ancaman memisahkan diri dari NKRI. 
Hal penting yang dapat disimpulkan dari pelacakan jejak kontroversi seputar UU Sisdiknas di atas adalah pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, terutama Islam- telah menjadi konteks tersendiri yang memotivasi, mewarnai dan memperkaya UU Sisdiknas, sekaligus menjadikan Undang-Undang ini dianggap kontroversial. Dari konteks ini lah penulis melihat kajian terhadap posisi pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dalam UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 2008 memiliki urgensi dan signifikansi yang besar.
 Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan. Pun terhadap pendidikan agama yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama Undang-Undang ini cenderung bersikap liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan orang tua. Namun demikian, Undang-Undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini. Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak memihak dan tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan agama.
Sejak saat itu, isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan. Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 sebagai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional “jilid dua” yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam Undang-Undang yang muncul 39 tahun kemudian dari Undang-Undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di bandingkan dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur pendidikan sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan.
  1. Jejak Religiusitas UU Sisdiknas 2003 
Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 adalah implementasi dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 13 yang mengamanatkan bahwa : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. 
  1. Kedudukan Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, tersebut dalam Bab Vi Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian ke Sembilan Pendidikan Keagamaan Pasal 30 isinya adalah[4] :
1.      Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.      Pendidkan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamnya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
3.      Pendidkan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, informal dan nonformal.
4.      Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis.
5.      Ketentuan mengenai pendidikan keagmaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,2,3 dan 4 diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.
Implikasi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 terhadap sistem pendidikan Islam, secara konseptual memberikan landasan kuat dalam mengembangkan dan memberdayakan sistem pendidikan Islam dengan prinsip demokrasi, desentralisasi, pemerataan/keadilan, mutu dan relevansi, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sehingga terwujud akuntabilitas pendidikan yang mandiri menuju keunggulan. Implikasi tersebut mengindikasikan upaya pembaharuan sistem pendidikan Islam baik kandungan, proses maupun manajemen. Karena itu, konsep yang ditawarkan dan sekaligus sebagai konsekuensi berlakunya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, adalah mereformulasikan konsep pendidikan Islam yang berwawasan semesta, dengan langkah-langkah membangun kerangka filosofis-teoritis pendidikan, dan membangun sistem pendidikan Islam yang diproyeksikan melalui Laboratorium fungsi ganda, yakni peningkatan mutu akademik dan pengembangan usaha bisnis. Upaya ini dilakukan dalam kerangka mewujudkan akuntabilitas lembaga pendidikan Islam yang mandiri menuju keunggulan, sehingga diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dalam membangun bangsa dan negara Indonesia.
Relevansi dari kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam dapat dilihat dari dikeluarkannya Tap MPRS No. 2 tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom dibawah pengawasan Menteri Agama selain itu dalam Tap MPRS No. 27 Tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsur mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Berdasarkan ketentuan ini, maka Departemen Agama menyelenggarakan pendidikan madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi juga bersifat kejuruan (Nawawi, 1983). Dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1972 tentang tanggungjawab Fungsional Pendidikan dan Latihan. Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal, yaitu:
1.      Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan.
2.      Menteri Tenaga Kerja bertanggungjawab atas pembinaan latihan keahlian dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri.
3.      Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggungjawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.
Kemudian dikeluarkan Inpres No. 15 tahun 1974, penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan menjadi sepenuhnya berada dibawah tanggungjawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dari pernyataan diatas Drs. Akmal Hawi, M.Ag menyimpulkan, bahwa kebijakan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres No. 15 tahun 1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah tidak saja diasingkan dengan pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat akan dihapuskan. Dengan kata lain, Kepres dan Inpres di atas dipandang oleh sebagian umat Islam sebagai suatu manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah sebagai suatu lembaga pendidikan Islam (Akmal Hawi, 2005: 120).[5]
Hal ini menimbulkan reaksi dikalangan umat Islam terhadap kebijakan pemerintahan tersebut yang dianggap merugikan bagi kelangsungan pendidikan Islam, kemudian reaksi umat Islam ini mendapat perhatian oleh Musyawarah Kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama. Lembaga ini memandang bahwa madrasah merupakan suatu lembaga pendidikan Islam, oleh sebab itu yang tepat untuk menyelenggarakannya adalah Departemen Agama sebab Menteri Agama yang lebih tahu tentang kebutuhan pendidikan agama bukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Wirosyukarto, 1996: 88).
Dengan memperhatikan aspirasi umat Islam diatas, maka dengan ini pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Ketiga menteri itu adalah menteri pendidikan, menteri dalam negeri, dan menteri agama.
Tujuan lahirnya SKB Tiga Menteri adalah untuk mengatasi kekhawatiran umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah. SKB Tiga Menteri ini dikeluarkan pada sidang Kabinet pada tanggal 26 Nopember 1974.
Adapun isi dari SKB Tiga Menteri mengandung beberapa diktum seperti dalam Bab I, pasal 1 dan 2 misalnya menyatakan madrasah itu meliputi tiga tingkatan, yaitu:
a.       Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar (SD)
b.      Madrasah Tsanawiyah setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
c.       Madrasah Aliyah setingkat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA)
Selanjutnya dalam Bab II, pasal 2 disebutkan bahwa:
a.       Ijazah Madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah Sekolah Umum.
b.      Lulusan Madrasah dapat melanjutkan ke Sekolah Umum.
c.        Siswa Madrasah dapat berpindah ke Sekolah Umum (Martunus, 1979).
Mengenai pengelolaan dan pembinaan terdapat dalam Bab IV, pasal 4, yaitu:
a.     Pengelolaan Madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
b.    Pembinaan mata pelajaran agama pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama.
c.    Pembinaan dan pengawasan mutu pelajaran umum pada madrasah dilakukan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (Aziz Martunus, 1979).
Dengan dikeluarkannya SKB Tiga Menteri dapat dipandang sebagai bentuk pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrasah dan sekaligus merupakan langkah strategis untuk menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional. Dalam hal ini, madrasah tidak hanya dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan atau lembaga penyelenggara kewajiban belajar, tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar (Hasbullah, 1995).
Dengan demikian UU No.2 tahun 1989 tersebut merupakan wadah formal terintegrasinya sistem pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional meskipun secara eksplisit tidak mengatur secara khusus tentang pendidikan Islam tetapi dalam prakteknya memberikan ketentuan-ketentuan baru mengenai jenis dan kurikulum pendidikan Islam, khususnya pendidikan madrasah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa posisi Pendidikan Islam dalam sistem Pendidikan Nasional tahun 1989 tercermin dalam beberapa aspek, yaitu:
a.       Sistem pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur dan jenis pendidikan.
b.      Dalam sistem pendidikan nasional, madrasah dimasukkan ke dalam kategori pendidikan jalur sekolah. Kebijakan ini dapat dikatakan bahwa madrasah pada hakekatnya adalah sekolah.
c.       Meskipun madrasah diberi status pendidikan jalur sekolah tetapi sesuai dengan jenis keagamaan dan sistem pendidikan nasional. Maka madrasah memiliki jurusan khusus yaitu ilmu-ilmu agama dan ilmu umum (Maksum, 1999).
  1. Fakta Pendidikan di Indonesia
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan definisi ini, dapat difahami bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk kecakapan hidup dan karakter bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah pendidikan yang sebenarnya adalah sekularisme yaitu pemisahan peranan agama dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh. Dalam UU Sisdiknas tidak disebutkan bahwa yang menjadi landasan pembentukan kecakapan hidup dan karakter peserta didik adalah nilai-nilai dari aqidah islam, melainkan justru nilai-nilai dari demokrasi.
Pemerintah dalam hal ini berupaya mengaburkan realitas (sekulerisme pendidikan) tersebut, sebagaimana terungkap dalam pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan, “Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.” Sepintas, tujuan pendidikan nasional di atas memang tidak nampak sekuler, namun perlu difahami bahwa sekularisme bukanlah pandangan hidup yang sama sekali tidak mengakui adanya Tuhan. Melainkan, meyakini adanya Tuhan sebatas sebagai pencipta saja, dan peranan-Nya dalam pengaturan kehidupan manusia tidak boleh dominan. Sehingga manusia sendirilah yang dianggap lebih berhak untuk mendominasi berbagai pengaturan kehidupannya sekaligus memarjinalkan peranan Tuhan.
Keterpurukan yang diakibatkan dari penerapan sistem pendidikan nasional yang sekuler antara lain:
1.      Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 saja menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com).
2.      Laporan United Nations Development Program (UNDP) tahun 2004 dan 2005, menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia ternyata tetap buruk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke-111 dari 175 negara. Tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara. Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004, Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan (110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Bahkan jika dibandingkan dengan IPM negara-negara di ASEAN seperti Singapura (25), Brunei Darussalam (33) Malaysia ( 58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Myanmar (132) dan Laos (135) (www.suarapembaruan.com/16 juli 2004 dan Pan Mohamad Faiz. 2006).
3.      Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak (www.pikiran-rakyat.com). Selain itu, kalangan pelajar juga rentan tertular penyebaran penyakit HIV/AIDS. Misalnya di kota Madiun-Jatim, dari data terakhir yang dilansir Yayasan Bambu Nusantara Cabang Madiun, organisasi yang konsen masalah HIV/AIDS, menyebutkan kasus Infeksi Seksual Menular (IMS) yang beresiko tertular HIV/AIDS menurut kategori pendidikan sampai akhir Oktober 2007 didominasi pelajar SMA/SMK sebanyak 51 %, pelajar SMP sebesar 26%, mahasiswa sebesar 12% dan SD/MI sebesar 11% (news.okezone.com). Dalam hal tawuran, di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tingkat tawuran antar pelajar sudah mencapai ambang yang cukup memprihatinkan. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat, dalam satu hari di Jakarta terdapat sampai tiga kasus perkelahian di tiga tempat sekaligus (www.smu-net.com).
4.      Pencapaian APK (Angka Partisipasi Kasar) dan APM (Angka Partisipasi Murni) sebagai indikator keberhasilan program pemerataan pendidikan oleh pemerintah, hingga tahun 2003 secara nasional ketercapaiannya ternyata masih rendah, hal ini didasarkan pada indikator: (1) anak putus sekolah tidak dapat mengikuti pendidikan (usia 7-15) sekira 693.700 orang atau 1,7%, (2) putus sekolah SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah mencapai 2,7 juta orang atau 6,7% dari total penduduk usia 7-15 tahun (Pusat Data dan Informasi Depdiknas, 2003). Rasio partisipasi pendidikan rata-rata hanya mencapai 68,4 persen. Bahkan, masih ada sekitar 9,6 persen penduduk berusia 15 tahun ke atas yang buta huruf. (www.republikaonline.com) sampai sekarang masih terdapat 9 provinsi dengan jumlah buta aksara terbesar usia 10 tahun ke atas dan 15-44 tahun, yakni: Jawa Timur (1.086.921 orang), Jawa Tengah (640.428), Jawa Barat (383.288), Sulawesi Selatan (291.230), Papua (264.895), Nusa Tenggara Barat (254.457), Nusa Tenggara Timur (117.839), Kalimantan Barat (117.338), dan Banten (114.763 orang). (www.pikiran-rakyat.com).
5.      Data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung. Selain itu, beban biaya pendidikan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat (selain orang tua/ siswa) hanya berkisar antara 12,22%-36,65% dari biaya pendidikan total (Koran Tempo, 07/03/2007). Menurut laporan dari bank dunia tahun 2004, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana penyelenggaraan pendidikan nasionalnya padahal pada saat yang sama pemerintah India telah dapat menanggung pembiayaan pendidikan 89%. Bahkan jika dibandingkan dengan negara yang lebih terbelakang seperti Srilanka, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah. (www.worldbank.com).
6.      Rendahnya tingkat kesejahteraan guru yang berpengaruh terahadap rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. Guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
7.      Realisasi anggaran pendidikan yang masih sedikit. Ketentuan anggaran pendidikan dalam UU No.20/2003 pasal dinyatakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (ayat 1). Realisasi anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD ternyata masih sangat sulit untuk dilakukan pemerintah, bahkan skenario yang diterapkan pun masih mengalokasikan dana pendidikan dari APBN/APBD dalam jumlah yang terbatas yaitu Total Belanja Pemerintah Pusat menurut APBN 2006 adalah sebesar Rp 427,6 triliun. Dari jumlah tersebut, jumlah yang dianggarkan untuk pendidikan adalah sebesar Rp36,7 triliun. Sedangkan asumsi kebutuhan budget anggaran pendidikan adalah 20% dari Rp. 427,6 triliun atau sebesar Rp. 85,5 triliun, maka masih terdapat defisit atau kekurangan kebutuhan dana pendidikan sebesar Rp 47,9 triliun. Skenario progresif pemenuhan anggaran pendidikan yang disepakati bersama oleh DPR dan Pemerintah pada tanggal 4 Juli 2005 yang lalu hanya menetapkan kenaikan bertahap 2,7 persen per tahun hingga 2009, dengan rincian kenaikan 6,6 % (2004), 9,29 % (2005), 12,01 % (2006), 14,68 % (2007), 17,40 % (2008), dan 20,10 % (2009). Bandingkan dengan anggaran yang ternyata hanya dialokasikan sebesar 8,1 % pada tahun 2005 dan 9,1 % pada tahun 2006 (Pan Mohamad Faiz;2006).Tahun 2007 hanya mencapai 11,8 persen. Nilai ini setara dengan Rp 90,10 triliun dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun.(www.tempointeraktif.com).
8.      Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja. Pada tahun 2009 diperkirakan ada 116,5 juta orang yang akan mencari kerja (www.kompas.com).
Data di atas merupakan beberapa indikator yang menunjukan betapa sistem pendidikan nasional kita saat ini tengah didera oleh berbagai problematika, yang pada akhirnya penyelenggaraan pendidikan tidak dapat memberikan penyelesaian terhadap permasalahan pembentukan karakter insan yang berakhlak mulia, pembentukan keterampilan hidup, penguasaan IPTEK untuk peningkatan kualitas dan taraf hidup masyarakat, serta memecahkan berbagai problematika kehidupan lainnya. Padahal diantara tujuan semula pendidikan adalah untuk itu semua.
Pemecahan Masalah
1.      Solusi Masalah Mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Penyelesaian itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma pendidikan Islam. Hal ini sangat penting dan utama. Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan dapat diselesaikan (yang antara lain dikelompokan menjadi masalah aksesibilitas pendidikan, relevansi pendidikan, pengelolaan dan efisiensi, hingga kualitas pendidikan).
Solusi masalah mendasar tersebut adalah dengan melakukan pendekatan sistemik yaitu secara bersamaan dan menyeluruh agar sistem pendidikan dapat berubah lebih baik maka harus pula dilakukan perubahan terhadap paradigma dalam penyelenggaraan sistem ekonomi yang kapitalistik menjadi islami, tatanan sosial yang permisif dan hedonis menjadi islami, tatanan politik yang oportunistik menjadi islami, dan ideologi kapitalisme-sekuler menjadi mabda islam, sehingga perubahan sistem pendidikan yang materialistik pun dapat diubah menjadi pendidikan yang dilandasi oleh aqidah dan syariah islam sesuai dengan karakteristiknya. Perbaikan semacam ini pun perlu dikokohkan dengan aspek formal, yaitu dengan dibuatnya regulasi tentang pendidikan yang berbasiskan pada konsep syari’ah Islam.
Upaya perbaikan secara tambal sulam dan parsial, semisal perbaikan hanya terhadap kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan dan sebagainya tidak akan dapat berjalan dengan optimal sepanjang permasalahan mendasarnya belum diperbaiki. Salah satu bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dan menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan (Syari’ah) Islam. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum.
2.      Solusi Untuk Permasalahan Derivat (Turunan)
Permasalahan cabang dalam sistem pendidikan nasional kita diantaranya dapat dikelompokan sebagai berikut:
1)      Keterbatasan aksesibilitas dan daya tamping
2)      Kerusakan sarana dan prasarana.
3)      Kekurangan tenaga guru.
4)      Kinerja dan kesejahteraan guru yang belum optimal.
5)      Proses pembelajaran yang konvensional.
6)      Jumlah dan kualitas buku yang belum memadai.
7)      Otonomi Pendidikan
8)      Keterbatasan anggaran.
9)      Mutu SDM Pengelola pendidikan.
10)  Life skill yang dihasilkan belum optimal (Diknas Jabar. Makalah UPI EXPO 2006).
Untuk menyelasaikan masalah-masalah cabang di atas, diantaranya juga tetap tidak bisa dilepaskan dari penyelesaian terhadap masalah mendasar. Sehingga dalam hal ini diantaranya secara garis besar terdapat dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik. Yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, antara lain: sistem ekonomi, sistem politik, sistem sosial, ideologi, dan lainnya. Penerapan ekonomi syari’ah sebagai pengganti ekonomi kapitalis ataupun sosialis akan menyeleraskan paradigma pemerintah dan masyarakat tentang penyelenggaraan pendidikan, dimana pendidikan sebagai salah satu kewajiban negara yang harus diberikan kepada rakyatnya dengan tanpa adanya pembebanan biaya yang memberatkan ataupun diskriminasi terhadap masyarakat yang tidak memiliki sumber dana (capital) untuk mengenyam pendidikan, karena pendanaan pendidikan harus dialokasikan dari kas negara, bukan dibebankan kepada rakyat sebagaimana Rasulullah Saw pernah mencontohkan dengan menetapkan tebusan bagi orang-orang kafir yang menjadi tawanan dalam perang Badar dengan mengajari masing-masing sepuluh anak kaum muslimin, padahal harta tebusan tersebut statusnya merupakan ghanimah yang akan disimpan dalam Baitul Maal (kas negara) dan menjadi milik kaum muslimin (Struktur Negara Khilafah hal.213: HTI Press). Atas dasar inilah jaminan pendidikan terhadap rakyat merupakan kewajiban negara.
Penerapan sistem politik islam sebagai pengganti sistem politik sekuler akan memberikan paradigma dan frame politik yang dilakukan oleh penguasa dan masyarakat, dimana politik akan difahami sebagai aktifitas perjuangan untuk menjamin terlaksananya pengaturan berbagai kepentingan ummat oleh penguasa termasuk diantaranya dalam menetapkan kebijakan bidang pendidikan, sehingga bukan malah sebaliknya menyengsarakan ummat dengan memaksa mereka agar melayani penguasa. Penerapan sistem sosial yang islami sebagai pengganti sistem sosial yang hedonis dan permisif akan mampu mengkondisikan masyarakat agar memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kewajiban terikat pada hukum-hukum syari’at sehingga masyarakat akan menyadari pula bahwa peran mereka dalam mensinergiskan pendidikan di sekolah adalah sebagai pihak yang dapat memberikan tauladan sekaligus mengontrol aplikasi nilai-nilai pendidikan yang diperoleh siswa di sekolah.
Secara keseluruhan perbaikan sistem ini akan dapat terlaksana jika pemerintah menyadari fungsi dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Rasulullah Saw bersabda:
“Seorang Imam ialah (laksana) penggembala dan Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya)”. (HR. Muslim)
Kedua, solusi teknis. Yakni solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan internal dalam penyelenggaraan sistem pendidikan. Diantaranya, secara tegas, pemerintah harus mempunyai komitmen untuk mengalokasikan dana pendidikan nasional dalam jumlah yang memadai yang diperoleh dari hasil-hasil eksploitasi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan milik ummat, menyita kembali harta milik rakyat yang telah dicuri oleh para koruptor baik dari kalangan penguasa, aparat pemerintah mauapun para pelaku usaha. Dengan adanya ketersediaan dana tersebut, maka pemerintahpun dapat menyelesaikan permasalahan aksesibilitas pendidikan dengan memberikan pendidikan gratis kepada seluruh masyarakat usia sekolah dan siapapun yang belum bersekolah baik untuk tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) maupun menengah (SLTA), bahkan harus pula berlanjut pada jenjang perguruan tinggi. Merekrut jumlah tenaga pendidik dan kependidikan sesuai kebutuhan di lapangan disertai dengan adanya peningkatan kualitas dan kompetensi yang tinggi, jaminan kesejahteraan dan penghargaan untuk mereka. Pembangunan sarana dan prasarana yang layak dan berkualitas untuk menunjang proses belajar-mengajar. Penyusunan kurikulum yang berlandaskan pada nilai-nilai syari’ah (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Melarang segala bentuk kapitalisasi dan komersialisasi pendidikan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta menjamin terlaksananya pendidikan yang berkualitas dengan menghasilkan lulusan yang mampu menjalani kehidupan dunia dengan segala kemajuannya (setelah menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan teknologi serta seni baik yang berasal dari islam maupun dari non islam sepanjang bersifat umum) dan mempersiapkan mereka untuk mendapatkan bagiannya dalam kehidupan di akhirat kelak dengan adanya penguasaan terhadap tsaqofah islam dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.


BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
UU Sisdiknas 2003 adalah implementasi dari berbagai dorongan untuk mencapai tujuan Pendidkan Nasional yang menginginkan out put manusia Indonesia yang berakhlak mulia. NAmun, UU Sisdiknas in dinilai belum menyentuh aspek religi dari pendidikan Islam, juga belum mengatur tentang tata penyelenggaraan. Namun, UU Sisdiknas ini telah memberikan ruang dan penempatan atau kedudukan yang kelas pada Sistem Pendidikan Nasional yaitu berpampingan antara Sistem Pendidikan Nasional dengan Pendidikan Agama yang juga diatur oleh Pemerintah. Namun, diperlukan formulasi khusus untuk pengembangan pendidikan Islam yaitu pengembangan Sistem Independent Pendidikan Islam yang disahkan melalui Peraturan Pemerintah.
Jadi, kesimpulannya adalah integritas madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional bukan merupakan integritas dalam artian penyelenggaraan dan pengelolaan, tetapi lebih pada pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari Sistem Pendidikan Nasional walaupun pengelolaannya diserahkan kepada Departemen Agama.

DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Zakiah. 2004. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Tim Penerbit Asa Mandiri. 2007. Undang-undang Guru dan Dosen & Undang-undang Sisdiknas. Jakarta: Penerbit Asa Mandiri.

Ahmadi & Uhbiyati. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Hawi, Akmal. 2005. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.

Arifin, Muzayyin. 2003. Kapita selekta pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

http://lpmpalmuhajirin.blogspot.com/2009/02/pendidikan-islam-dalam-sisdiknas-part.html


[1] Daradjat, Zakiah. 2004. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
[2] Tim Penerbit Asa Mandiri. 2007. Undang-undang Guru dan Dosen & Undang-undang Sisdiknas. Jakarta: Penerbit Asa Mandiri.
[3] Ahmadi & Uhbiyati. 2001. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
[4] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
[5]Hawi, Akmal. 2005. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Palembang: IAIN Raden Fatah Press.