Kata Pengantar
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين الذى وقق من شاء من عباده لسلوك الطريق المستقيم. أحمده سبحانه واشكره على سوابغ نعمه واشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له وان محمدا عبده ورسوله الدّاعى الى كل خير والمخذر من شرّ. اللهم صلى وسلّم على عبدك ورسولك محمّد وعلى اله وصحبه أجمعين.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Karakter sikap arif dan inklusivisme dalam berakidah”.
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas mandiri dan persyaratan untuk menyelesaikan Mata Kuliah Ilmu Kalam di Institut PTIQ Jakarta.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada :
- Bapak Drs. H. Mahmud, M.M Selaku Dosen Penguji, yang telah memberikan kemudahan-kemudahan baik berupa moril maupun materiil.
- Rekan – rekan mahasiswa Institut PTIQ Jakarta Fakultas Tarbiyah (Program GPAI) tahun 2010 – 2011.
- Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.
Penulis berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
Jakarta, Maret 2011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jika dicermati secara seksama, semua agama lahir dan hadir lengkap dengan “klaim kebenaran” (truth-claim)nya, baik secara explisit ataupun implisit. Masalah apakah klaim-klaim kebenaran ini valid atau tidak, rasional atau irasional, that’s another issue. Dengan kata lain, tidak ada agama yang tidak membuat klaim kebenaran. Hanya saja terdapat perbedaan di antara agama-agama dalam memandang klaim kebenaran ini, antara lain:
Eksklusivisme, yaitu bahwa kebenaran absolut hanya dimiliki suatu agama tertentu secara eksklusif. Klaim ini tidak memberikan alternatif lain apapun. Ia tidak memberikan konsesi sedikitpun dan tidak mengenal kompromi. Ia memandang kebenaran (truth) secara hitam-putih. Klaim kebenaran absolut ini secara umum terdapat di setiap agama. Namun ia terrepresentasikan secara demonstratif oleh agama-agama semitik: Yudaisme, Kristen dan Islam, yang mana masing-masing saling mengklaim diri yang paling benar.
Dan klaim eksklusivitas dan absolutisme kebenaran ini kemudian ditopang dengan konsep juridis tentang “keselamatan” (juridical concept of salvation), di mana masing-masing agama tersebut mengklaim diri sebagai satu-satunya “ruang” soteriologis (soteriological space) yang hanya di dalamnya, atau “jalan” soteriologis (soteriological way) yang hanya melaluinya, manusia dapat mendapatkan keselamatan (salvation) atau kebebasan (liberation) atau pencerahan (enlightenment) – suatu hal yang semakin menambah mantap dan kuatnya klaim kebenaran absolut dan eksklusif tersebut.
Yudaisme, dengan doktrin “the chosen people”-nya, hanya mengakui kebenaran, kesalehan, dan keselamatan atas dasar etnisitas yang sangat sempit, yaitu bangsa Yahudi saja; Katolik dengan doktrin “extra ecclesiam nulla salus”-nya dan Protestan dengan doktrin “outside Christianity, no salvation”-nya menentukan status kesalehan dan keselamatan seseorang hanya dengan iman pada pengorbanan Yesus Kristus di atas tiang salib sebagai tebusan dosa warisan (original sin); sementara Islam dengan statemen Allah SWT dalam al-Qur’an: “Innad-dina ‘indallahi al-islam” (Ali Imran 19).
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٨٥﴾
Artinya:
” Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. “.(QS. Ali Imran 85).[1]
Inklusivisme, merupakan bentuk klaim kebenaran absolut yang lebih longgar. Di satu fihak, inklusivisme masih tetap meyakini bahwa hanya salah satu agama saja yang benar (the truth) secara absolut, tapi, di pihak lain ia mencoba mengakomodasi konsep yuridis keselamatan dan transformasinya untuk mencakup seluruh pengikut agama lain. Inklusivisme ini mendapatkan ekspresinya yang begitu artikulatif dalam pemikiran-pemikiran teologis yang dicoba kembangkan oleh para teolog semisal Karl Rahner dengan teori “Anonymous Christian” (Kristen anonim)-nya, yang kemudian diikuti oleh Gavin D’Costa, dan Raimundo Panikkar dengan ‘the unknown Christ of Hinduism’.
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang muncul adalah:
1. Apa dasar dan tujuan pendidikan Islam?
2. Apa hakekat dan makna al – hadist sebagai dasar pendidikan Islam?
1. Apa dasar dan tujuan pendidikan Islam?
2. Apa hakekat dan makna al – hadist sebagai dasar pendidikan Islam?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dasar dan tujuan pendidikan Islam,
2. Mengetahui hakekat dan makna al – hadist sebagai dasar pendidikan Islam
1. Mengetahui dasar dan tujuan pendidikan Islam,
2. Mengetahui hakekat dan makna al – hadist sebagai dasar pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
- Dasar Munculnya Inklusivisme.
Teologi inklusif ini secara artikulatif hanya muncul di lingkungan Kristen dan dalam waktu yang relatif belakangan, sebagai respon, di satu fihak, terhadap teologi pluralis yang mulai merebak pada pertengahan kedua dari abad ke-20 yang lalu, dan di lain pihak, terhadap klaim eksklusif yang menurut mereka sudah ketinggalan zaman.
Dengan kata lain inklusivisme ingin mengambil sikap tengah-tengah, antara eksklusivisme dan pluralisme. Ia ingin tetap memelihara dan mempertahankan doktrin utama Kristen tentang Penebusan Dosa (Atonement) yang dilakukan Yesus Kristus namun dengan interpretasi baru yang lebih segar dan seirama dengan nilai-nilai humanisme modern. Yakni, selama atonement tersebut adalah dimaksudkan untuk menebus seluruh dosa warisan Adam, maka dengan demikian semua umat manusia sekarang setatusnya terbuka untuk ampunan Tuhan, meskipun mereka mungkin tak pernah mendengar tentang Yesus dan kenapa ia mati disalib, dan meskipun mereka pengikut resmi agama-agama yang lain. Teologi inilah yang kemudian diadopsi secara resmi oleh Vatikan dan dideklarasikan dalam Konsili Vatikan II tahun 1962-1965.
Di lingkungan Islam, sebetulnya juga ada upaya serupa. Paling tidak dalam konteks Islam Indonesia pada awal tahun sembilan puluhan dari abad yang lalu, beberapa intelektual muslim kita mulai gemar mengusung jargon “Islam inklusif” dalam berbagai kesempatan. Namun setelah diteliti secara seksama, kandungan pemikiran yang mereka maksudkan ternyata lebih dekat, kalau tidak malah serupa, dengan model pluralisme yang akan dibentangkan berikut ini.
Pluralisme. Wacana ini muncul dan berkembang dalam konfigurasi dan setting sosial-politik tertentu, yakni humanisme sekular Barat yang bermuara pada lahirnya tatanan demokrasi liberal yang mana salah satu konstituen dan struktur utamanya adalah pluralisme agama (yang oleh sementara sosiolog diidentifikasi sebagai civil religion).
Klaim kebenaran pluralis ini ingin menegaskan bahwa semua agama, yang teistik maupun non-teistik, dapat dianggap sebagai “ruang-ruang” soteriologis (soteriological spaces) yang di dalamnya, atau “jalan-jalan” soteriologis (soteriological ways) yang melaluinya, manusia bisa mendapatkan keselamatan/kebebasan/pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam terhadap Hakikat ketuhanan (the Real) yang sama dan transenden.
Klaim pluralisme ini sangat “problematik” dan membawa implikasi yang luar biasa berbahaya bagi manusia dan kehidupan relijius dan spiritualnya. Kenyataan ini pada akhirnya telah mengantarkan gagasan pluralisme agama pada sebuah posisi yang sangat sulit untuk bisa menjawab pertanyaan yang sangat krusial, yaitu apakah gagasan ini benar-benar mampu memberikan solusi yang ramah terhadap konflik-konflik antar agama, sebagaimana yang diklaim oleh para penggagas dan penganjurnya, atau malah sejatinya lebih merupakan problem baru dalam fenomena pluralitas keagamaan?
Maka tidaklah terlalu mengherankan jika kemudian pemahaman ini, di satu pihak, menggiring pada sebuah kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih superior dan benar daripada yang lain. Sebuah kesimpulan yang justru mengantarkan para penggagas dan penganjur paham ini, khususnya yang beragama Kristen, pada posisi yang amat dilematis ketika dihadapkan pada sebuah pertanyaan: apakah Kristen sama persis dengan agama-agama primitif dan pangan yang kanibalistik?
Dan di pihak lain, klaim ini telah melakukan pereduksian yang demikian dahsyat sehingga mengkerangkeng agama hanya boleh beroperasi di wilayah spiritual manusia yang sangat sempit dan private –hubungan manusia dengan tuhannya atau the ultimate. Namun sebuah pertanyaan krusial yang segera menyusul adalah apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia baik dalam kehidupan individual maupun sosialnya atau tidak? Pertanyaan yang tentu saja tak mungkin bisa dijawab mereka kecuali mengiyakan atau mengukuhkannya.
Di samping itu, terminologi “pluralisme” di Barat dewasa ini, artinya telah mengalami perkembangan, atau tepatnya: perubahan, yang sangat fundamental sehingga hampir sama persis, atau sama dan sebangun dengan “demokrasi”, yakni penegasan tentang kebebasan, toleransi persamaan (equality) dan koeksistensi. Namun, konsep Barat modern yang secara teoretis sangat aggun dan toleran ini, pada dataran praktis cenderung menunjukkan perilaku sebaliknya, yakni intoleran, menyatroni dan memberangus karakter dan HAM orang/kelompok lain. Sebab realitasnya, kata Prof Muhammad Imarah, “Barat telah memaksa yang lain untuk mengikutinya secara kultur maupun pemikiran… dan untuk melepaskan sejarah, kultur dan referensi keagamaan dan intelektual mereka masing-masing.”3 Dengan kata lain, Barat tidak ingin “to let the others to be really other” (membiarkan yang lain menjadi dirinya sendiri).
Islam dan Klaim Kebenaran Agama
Masalah hubungan Islam dengan agama-agama lain beserta klaim-klaim kebenarannya secara teologis sudah selesai, settled, dan final. Allah sendiri yang telah menuntaskan masalah ini sejak awal lewat wahyu-Nya, Al-Qur’an. Oleh karenanya, tak selayaknya seorang Muslim mengingkari hal ini, sebab Al-Qur’an adalah merupakan otoritas keagamaan yang tertinggi, di mana teks-teksnya tak pernah berubah (dan berkat jaminan Allah SWT, tak akan pernah berubah sampai Hari Kiamat), begitu juga gramatika bahasa Arabnya.
Oleh karena masalah hubungan antar agama ini secara teologis sudah tuntas dan final, maka inilah agaknya yang menjadi alasan kenapa perbincangan para ulama klasik kita mengenai masalah ini lebih banyak terdapat di dalam pembahasan-pembahasan fiqhiyyah daripada ilmu kalam atau teologi Islam.
Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara Islam dan teori-teori pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis terhadap isu dan fenomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologis yang genuine yang tidak mungkin dinafikan atau dinihilkan, sementara teori-teori pluralis melihatnya sebagai keragaman yang hanya terjadi pada level manifestasi eksternal yang superfisial –dan oleh karenanya tidak hakiki atau tidak genuine. Perbedaan metodologis ini pada gilirannya menggiring pada perbedaan dalam menetukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis– oleh karenanya lebih bersifat fiqhiyyah, sementara teori-teori pluralis memberikan solusi teologis epistemologis.
Sebagaimana yang ditegaskan di atas, Islam memandang perbedaan dan keragaman agama ini sebagai suatu hakikat ontologis (haqiqah wujudiyah/kauniyah) dan sunnatullah, dan oleh karenanya genuine. Termasuk di dalamnya adalah truth-claim (klaim kebenaran) yang absolut dan eksklusif yang mana tanpanya jati diri dan identitas sebuah agama menjadi kabur, tak jelas, atau hilang sama sekali.
Dengan kata lain, Islam memperlakukan agama-agama lain sebagaimana adanya (as the way they are) dan membiarkan mereka untuk menjadi diri mereka sendiri, tanpa reduksi dan manipulasi. Apapun kondisinya, klaim kebenaran agama harus diapresiasi, tidak boleh disimplifikasikan, atau direlatifkan, apalagi dinafikan atau dinegasikan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uaraian-uraian di atas, bisa ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Dasar pendidikan Islam adalah landasan pokok pendidikan Islam. Artinya seluruh kegiatan atau proses pendidikan Islam berlandaskan pada dasar pendidikan Islam
2. Dasar pendidikan Islam adalah sumber pokok ajaran Islam, yaitu Al-Qur'an, Hadits dan Ijtihad. Tiga sumber di atas harus digunakan secara hierarkis. Artinya Al-Qur'an merupakan sumber awal yang digunakan, kemudian hadits dan selanjutnya ijtihad. Yang harus menjadi catatan bahwa produk ijtihad tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip dua sumber yang terdahulu, yaitu Al-Qur'an dan Hadits;
3. Tujuan pendidikan Islam adalah sasaran ideal yang merupakan hasil akhir sebuah proses pendidikan Islam.
4. Tujuan pendidikan termasuk tujuan pendidikan Islam harus dirumuskan secaran jelas, karena konsep sebuah tujuan memiliki empat kepentingan yaitu: untuk mengarahkan perbuatan mendidik, untuk mengakhiri suatu usaha pendidikan, membatasi lingkup suatu usaha pendidikan dan memberikan semangat dan dorongan untuk melaksanakan pendidikan;
5. secara garis besar tujuan pendidikan Islam terbagi menjadi dua bagian, yaitu : Tujuan umum atau tujuan akhir yang merupakan tujuan ideal dan tujuan sementara atau tujuan khusus yang isinya bisa saja berbeda sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi setempat yang paling penting tidak keluar dari prinsip-prinsip ideal; dan
6. Tujuan umum atau akhir pendidikan Islam terbagi kepada dua bagian, yaitu : Pertama, tujuan individu yang ditujukan agar manusia mengenali, mengakui dan melaksanakan secara sempurna kedudukan dan peranan idealnya dalam system penciptaan; dan Kedua, tujuan sosial yang diarahkan agar manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai kholifah mampu berinteraksi dengan sesamanya maupun lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur'an. Jakarta : Rineka Cipta. 1994.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam. Bandung : Rosda. 2000.
--------------, Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung : Rosda. 2002.
Al-Maktabah Alfiyah, Al-Maktabah Al-Fiyah Lisunnatin Nabawiyah ver 1.50 (CD Hadits).
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam. Bandung : Rosda.
2000.
Djamaludin dan Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung : Pustaka Setia. 1999.
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Logos. 1999.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an. Bandung : Mizan. 1998.
Oemar Muhammad Al-Taomy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta :
Bulan Bintang. 1979.
Qur’an Auto Reciter Sofware, The Holy Qur'an Program ver. 6.50. Mesir : SearchTruth.com. 1997.
[1] Qur’an Auto Reciter Software, The Holy Qur'an Program ver. 6.50, (Mesir : Sakr, 1997)Ali Imran:85
Tidak ada komentar:
Posting Komentar